Nasional Darurat Agraria

Paguyuban Padumukan Petani Punclut Desak Mahkamah Agung Cabut Putusan Inkonstitusional
Admin | 05 Dec 2022 | Dilihat 248x

Jakarta (kpa.or.id) - Puluhan petani anggota Paguyuban Padumukan Petani Punclut (PPPP) yang berasal dari Desa Pagerwangi Punclut, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat mendatangi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Senin, 5 Desember 2022. Mereka mendesak MA mencabut Putusan Mahkamah Agung No. 3380K/Pdt/2020 karena putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan sebab PT.DAM Utama Sakti Prima merupakan pemohon yang tidak benar.

Putusan yang diberikan oleh Mahkamah Agung dirasa telah merampas hak atas tanah 200 keluarga petani karena tanah seluas 14 hektar yang telah ditelantarkan PT DAM USP digarap oleh PPPP semenjak tahun 1938 melalui eks erpacth verponding 12.

Upaya perampasan tanah yang dilakukan oleh PT DAM USP berawal pada tahun 1961 ketika terjadi pemindah tanganan hak atas tanah tanpa sepengatahuan petani penggarap, berdasarkan Surat Keputusan Inspeksi Agraria Jawa Barat No. 17/Insp.P/1961, tanah tersebut telah menjadi Hak Milik R. Lili Natakusummah Cs. (943 orang) secara tiba-tiba tanpa diadakannya sosialisasi terhadap petani penggarap. 

Pada tahun 1994 PT DAM USP mengaku telah mendapat izin lokasi untuk pembangunan Kawasan Wisata Terpadu Dago Raya namun izin ini terbukti cacat hukum karena keluar sebelum adanya Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 19-VIII-1997 tanggal 4 September 1997 atas pembatalan sertifikat atas nama R. Lili Cs (943 orang)/Yayasan Bandung Baru.

Pada tahun 2002 PT. DAM USP menggunakan pendekatan intimidatif melalui manipulasi informasi bahwa tanah tersebut dipergunakan oleh Pangdam Siliwangi. Walapun mendapat penolakan dari warga perusahaan terus bersikeras memaksa ganti rugi hingga akhirnya karena takut mendapat intimidasi terus menerus warga akhirnya menerima.

Setelah proses tersebut, pihak perusahaan tidak mengusahakan tanah yang telah dilakukan oper garap tersebut (ditelantarkan) sehingga warga kembali menguasai dan memanfaatkannya. 

Tiba-tiba pada tahun 2017, pihak perusahaan kembali datang untuk menguasai tanah tersebut dan meminta para penggarap mengosongkan lahan tanpa ada itikad mengganti kerugian atas bangunan dan tanaman warga di atas tanah itu, Di sisi lain, pihak perusahaan tidak mempunyai alas hak yang jelas. Hal ini diperkuat oleh Surat Kanwil ATR/BPN Jawa Barat yang Nomor 1345/32.100.HP.0202/VII/2019 yang menjelaskan bahwa tanah yang telah digarap oleh warga ini telah menjadi tanah Negara sejak tahun 1980.

Tindakan-tindakan intimidasi berlanjut dari 2019 hingga kini, perusahaan membayar aparat desa dan tokoh-tokoh masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan intimidatif terhadap petani PPPP. PPPP juga harus mengganti rugi pada PT DAM USP jika tidak menandatangani surat pernyataan yang isinya mengakui bahwa tanah merupakan milik PT DAM USP, dan warga bersedia meninggalkan lahan jika sewaktu-waktu PT DAM USP ingin menggunakan lahan. 

“Melalui aksi ini kami berharap MA dan KY memberi perhatian yang serius sehingga putusan peninjauan kembali berpihak kepada kami sehingga tiada lagi dugaan praktik mafia hukum dan mafia tanah” Dedi Heriadi, Paguyuban Padumukan Petani Punclut.

Share