Nasional

Kenaikan BBM Berdampak Pada Seluruh Kehidupan Kaum Tani
Admin | 03 Sep 2022 | Dilihat 144x

Jakarta (kpa.or.id) - Kebijakan pemerintah menaikkan BBM menuai kritik dari banyak pihak. Sebab kenaikan tersebut akan berimbas pada seluruh sektor kehidupan rakyat. Pemerintah secara resmi menaikan harga BBM pada Sabtu, (3/9). Beberapa jenis BBM yang mengalami kenaikan adalah Pertalite dari Rp. 7.650 menjadi Rp. 10.000, Solar naik dari dari Rp5.150 menjadi Rp6.800, dan Pertamax yang semula Rp12.500 naik menjadi Rp14.500.

Sejak wacana ini dimunculkan, telah terjadi berbagai gelombang penolakan dari  berbagai elemen rakyat, terutama buruh dan mahasiswa. 

Lantas bagaimana dengan nasib petani dan masyarakat pedesaan lainnya? Sekretaris Jendral (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengungkapkan kenaikan ini tidak hanya berpengaruh bagi pada masyarakat di perkotaan. Namun lebih jauh, kenaikan tersebut akan menghantam seluruh sektor kehidupan, termasuk masyarakat tani di wilayah pedesaan.

Bagi Dewi, kenaikan harga BBM semakin memperburuk kehidupan para petani. Pasalnya, di tengah himpitan berbagai problem struktural seperti konflik agraria, kepastian hukum atas tanah, dan kriminalisasi, mereka didera masalah baru yang secara langsung mempengaruhi proses produksi pertanian, distribusi hasil, hingga di tingkat konsumsi rumah tangga petani.

Dalam proses produksi pertanian misalnya, kebutuhan-kebutuhan untuk menunjang budidaya tanaman seperti benih, pupuk, dan lainnya mengalami penyesuaian harga akibat kenaikan BBM. Belum lagi alat-alat dan mesin produksi yang harus dijalankan menggunakan bahan bakar, dampaknya langsung terasa bagi petani. Biaya produksi yang mereka tanggung pun membengkak. Apalagi, kenaikan biaya produksi tersebut tidak diimbang dengan peningkatan harga beli di tingkat petani.

Misal pada sektor pertanian pangan khususnya padi. Selama ini para petani menghabiskan biaya kurang lebih Rp. 13 juta untuk satu kali musim tanam. Kenaikan ini tentu akan meningkatkan biaya produksi hingga dua kali lipat,’ ujarnya.

Pengalaman Asep Abidin, petani anggota Serikat Petani Pasundan (SPP) menguatkan analis tersebut. Ia mengakui harga kebutuhan petani naik semua, berbanding terbalik dengan harga hasil produksi tani yang jauh berada di bawah standar.

“Harga kebutuhan petani naik semua, di mana hasil tani sekarang di bawah standar harga. Seperti kol, (harga jualnya) cuma Rp400/kg. Sedangkan harga kebutuhan petani naik semua setelah kenaikan BBM. Contohnya pupuk NPK, tadinya Rp 487 ribu tapi sekarang jadi Rp 835 ribu. (Pupuk) Phonska, per karungnya (semula) Rp120 ribu jadi Rp 180 ribu, ZA Rp 75 ribu jadi Rp 135 ribu, urea Rp 80 ribu jadi Rp160 ribu,” ungkap Asep.

Belum lagi kalau bensin yang diperlukan untuk perjalanan dari rumah ke kebun, dan sebaliknya. Biaya sewa bajak pun sudah naik, dari Rp300 ribu menjadi Rp 350 ribu setelah kenaikan BBM,” tuturnya.

Hal yang sama terjadi pada distribusi hasil-hasil pertanian, yakni pengangkutan hasil pertanian yang dipanen dari petani ke pasar, atau perpindahan dari tingkat provinsi, logistik darat, logistik laut, sampai pada konsumen akhir.

Ya, kebijakan kenaikan BBM ini tidak hanya berimbas pada produksi dan distribusi, tetapi juga pada tingkat konsumsi. Sebagian besar petani di Indonesia saat ini sangat bergantung pada pasokan pangan dari luar daerah mereka, sebagai akibat dari orientasi pertanian Indonesia yang didominasi tanaman monokultur. Artinya kemandirian pangan, kedaulatan pangan, membuat keluarga petani, pekebun, dan buruh tani bergantung pada pangan dari luar.

“Kenaikan harga BBM sangat berdampak ke kehidupan sehari-hari, terutama kenaikan pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga paling meningkat itu adalah bahan pokok yang tidak bisa diproduksi sendiri, seperti minyak goreng, gas, dll. sementara harga hasil pertanian semakin merosot,” kata Oom, petani SPP dari Sukamukti

Ilusi Hilirisasi Produk Pertanian

Hilirisasi industri saat ini banyak disebutkan dalam berbagai program atau kebijakan pembangunan di Indonesia. Arah kebijakan pemerintah dalam proses hilirisasi industri adalah mewujudkan proses pelipatgandaan nilai tambah di dalam negeri secara optimal.

Hal itu dilakukan dengan mendorong petani atau koperasi petani untuk bisa mengolah hasil panen dan tidak sekadar menjual bahan mentahnya saja. Sehingga, ada peningkatan nilai jual hasil-hasil pertanian hingga menciptakan atau menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan di tingkat pedesaan.

Misalnya kelapa diharapkan tidak hanya dijual dalam bentuk bahan mentah atau sebatas kopra, tetapi sampai menjadi minyak kelapa. Atau, biji kakao yang diproduksi menjadi bahan baku setengah jadi cokelat berupa coklat blok/convertur, liqueur dan dark. 

Contoh lain adalah pengolahan aren menjadi gula dan produk pertanian lainnya. Nah, proses-proses peningkatan nilai tambah hasil pertanian itu menjadi lebih tidak mungkin dilakukan ketika BBM naik dan berpengaruh terhadap biaya produksi yang juga semakin tinggi.

Sayangnya, bagi Dewi dengan kebijakan kenaikan BBM, petani memiliki kecenderungan akan lebih memilih menjual bahan mentah. Hal itu dipengaruhi oleh kebutuhan biaya produksi yang lebih besar untuk pengolahan awal. 

Karenanya, cita-cita mendorong hilirisasi pertanian di mana pertanian rakyat, termasuk koperasi-koperasi pertanian, badan usaha milik petani untuk sanggup memiliki dan menjalankan teknologi yang mendukung proses-proses pengolahan produk pertanian akan semakin jauh untuk dicapai,” Dewi menekankan.

Kaji Ulang Kenaikan BBM

Pemerintah sebaiknya mengkaji ulang kebijakan kenaikan harga BBM agar inflasi  terjadi tidak merontokkan sektor pertanian yang memiliki kontribusi besar dalam menopang perekonomian dan pangan Indonesia selama krisis pandemi.

Dibanding mengurangi subsidi, pemerintah seharusnya memperbaharui sistem yang ada dengan memastikan ketepatan sasaran penerima subsidi. Di banyak SPBU, kita melihat masih banyak mobil mewah atau kendaraan berplat merah yang ikut mengantri pengisian bakar bakar subsidi. 

Hal lain yang bisa dipertimbangkan pemerintah adalah soal bea impor produk pangan. Dimana saat ini importir mendapat keistimewaan berupa bea impor lebih ringan. Hal itu menyebabkan penurunan daya saing produk lokal.

Jangan sampai beban beban negara hanya dilimpahkan ke kelompok menengah-bawah. Sementara di sisi lain, keistimewaan dan pengecualian terus diberikan negara pada segelintir kelompok elit.

Share