Jakarta (kpa.or.id) – Sistem monitoring konflik agraria Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menjadi referensi bagi koalisi Land Watch Asia (LWA) dalam membangun sistem land conflict monitoring yang dilakukan di enam negara, yakni Indonesia, Filiphina, Kamboja, India, Nepal dan Bangladesh.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Departemen Kampanye KPA, Benni Wijaya saat memaparkan laporan konflik agraria di Indonesia pada workshop monitoring konflik agraria di enam negara yang berlangsung di Jakarta, 26-27 Februari 2024.
Pada tahun 2018, kami di koalisi mulai membangun inisiatif pemantauan situasi konflik agraria di enam Negara, dan pada 2020, sistem monitoring konflik KPA menjadi salah satu rujukan dan model bagi pembangunan inisiatif ini,” kata Benni.
Pertemuan yang berlangsung selama dua hari tersebut merupakan forum untuk menyampaikan hasil monitoring konflik agraria tahun yang terjadi selama tahun 2023. Sebagai salah satu anggota koalisi, KPA didapuk menjadi tuan rumah pada pertemuan ini.
Inisiatif pemantauan konflik agraria telah berjalan sejak tahun 2018, dilatari peningkatan jumlah konflik, cakupan, dan intensitas selama dekade terakhir. Situasi ini mendorong organisasi-organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Land Watch Asia, termasuk KPA dan Asian NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development (ANGOC), untuk melakukan aksi bersama untuk memantau dan melakukan pendalaman atas letusan konflik agraria.
“Inisiatif pemantauan konflik agraria regional ini bertujuan untuk memberi kontribusi pada penurunan letusan konflik agraria dan pelanggaran hak atas tanah, serta mendorong pemenuhan hak atas tanah sebagai hak asasi manusia,” tutur Nathaniel Don Marquez, Direktur Eksekutif ANGOC.
“Pemantauan konflik agraria sepanjang tahun 2023 telah dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi Land Watch Asia yang berada di enam (6) negara Asia: Indonesia, Bangladesh, Kamboja, India, Filiphina, dan Nepal” tambah pria yang biasa disapa Don tersebut.
KPA sendiri sejak 2007 telah melakukan monitoring konflik agraria secara regular. Hasil monitoring tersebut dipublikasikan setiap tahun dalam bentuk Catatan Akhir Tahun (Catahu). Laporan ini berisikan situasi, analisis dan rekomendasi terhadap pihak terkait terutama pemerintah dalam rangka penyelesaian konflik agraria.
Dewi Kartika, Sekretaris Jendral KPA menyebutkan Catahu ini merupakan agenda rutin KPA yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001, dan berjalan secara regular sejak 2007.
“Selain memaparkan hasil pemantauan kami terhadap situasi agraria dan kebijakan sepanjang tahun. Laporan tahunan ini dilengkapi dengan analisis-analisis kritis dengan harapan dapat menjadi data pembanding atau pun referensi bagi banyak pihak, terutama para pengambil kebijakan,” tambah Dewi dalam sambutannya.
Selama lebih dari dua dekade tersebut, laporan tahunan ini terus berkembang dan telah menjadi rujukan banyak pihak, mulai dari kalangan pemangku kebijakan, akademisi, kampus, organisasi, masyarakat sipil, komunitas masyarakat hingga media massa.
“Dengan memonitor secara berkala hari ke hari, tahun ke tahun, kita mendorong perlunya reforma agraria secara menyeluruh dan pengakuan bagi hak-hak petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, dan masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan di semua negara. Dengan berbagi informasi monitoring secara berkala, kami berharap agenda reforma agraria bisa menjadi aksi kolektif bagi masyarakat sipil bersama Komnas HAM, Ombudsman dan parlemen,” tegas Dewi.
LWA adalah koalisi organisasi masyarakat sipil tingkat regional yang berfokus untuk mengkampanyekan isu hak atas tanah, pangan dan pembangunan berkelanjutan berbasis data kasus di lapangan. Termasuk juga mendorong pemerintahan di level negara mengarusutamakan hak atas tanah dan menjalankan reforma agraria.
Adapun organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi ini diantaranya, KPA (Indonesia), ANGOC (Filiphina), AR Now, XSF (Filiphina), ALRD, ARBAN, CDA, (Bangladesh), CLRA, Ekta Parishad, SDF, (India), CSRC (Nepal), dan STAR Kampuchea (Kamboja).