Satu dekade terakhir, kita telah menyaksikan fase-fase krisis agraria dan ekologis yang paling parah sepanjang sejarah berdirinya Negara ini. Konsentrasi penguasaan dan monopoli tanah oleh pengusaha dan badan-badan usaha swasta maupun negara telah mengakibatkan ketimpangan, konflik agraria, kerusakan alam dan kemiskinan struktural yang meluas dan akut
Situasi ini adalah buah dari kebijakan ekonomi-politik dan hukum yang liberal dan kapitalistik. Menjadikan tanah-tanah rakyat, kekayaan agraria dan sumbedaya alam sebagai komoditas yang bisa diambil paksa untuk kepentingan investasi dan ragam bisnis skala besar. Demi memuluskan ambisi tersebut, Pemerintah membungkusnya melalui narasi-narasi populis kepentingan proyek strategis nasional untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Ilusi-ilusi pembangunan semacam ini terus dipaksakan melalui ragam regulasi dan kebijakan serta dikawal oleh represifitas dan kekerasan oleh aparat keamanan di lapangan.
Data BPS tahun 2013 menyebutkan indeks gini penguasaan tanah di Indonesia telah mencapai angka 0,68. Artinya 68 % kekayaan tanah dan sumber-sumber agraria di Indonesia dikuasai oleh 1% kelompok. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat selama Pemerintahan Presiden Joko Widodo (2015-2022), telah terjadi sedikitnya 2.710 letusan konflik agraria yang berdampak pada 5,88 juta hektar. Letusan konflik tersebut disebabkan ragam bisnis dan investasi sektor agraria; perkebunan, kehutanan, pembangunan infratstruktur, pertambangan, pesisir dan pulau-pulau kecil, properti, agribisnis, proyek-proyek strategis nasional dan pariwisata premium hingga bisnis dan klaim sepihak militer di atas tanah-tanah rakyat. Para periode tersebut, sedikitnya 1.934 orang mengalami kriminalisasi, 814 mengalami kekerasan, 78 tertembak dan 69 orang tewas di wilayah konflik agraria. Sementara, Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) mencatat sejak 2017-2022 terjadi 301 kasus yang merampas 8,5 juta Ha wilayah adat dan mengkriminalisasi 672 jiwa warga Masyarakat Adat.
Konflik agraria dan perampasan tanah di atas telah meningkatkan jumlah petani gurem dan petani tidak bertanah di Indonesia. Sebab, pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan investasi tersebut sebagian besar menarget tanah-tanah pertanian produktif rakyat. Situasi produsen pangan di atas semakin diperparah dengan orientasi kebijakan pertanian pangan berbasis korporasi dan militer melalui Program Food Estate, Cetak Sawah Baru, Program Ketahanan Pangan, serta keran importasi pangan yang dibuka lebar hasil UU Cipta Kerja (UUCK
Berdasarkan Data Sensus Pertanian 2013, sedikitnya 11,51 juta keluarga petani berstatus petani gurem. Hanya dalam kurun waktu lima tahun (2013-2018), guremisasi kelas petani melonjak tajam menjadi 15,8 juta keluarga atau bertambah sekitar 4,29 juta keluarga (BPS, Survey Pertanian Antar Sensus, 2018). Fakta terbaru, sebanyak 72,19% petani merupakan petani gurem dimana 91,81% diantaranya adalah petani laki-laki dan 8,19% merupakan petani perempuan (BPS-Sintesis, 2021).
Tidak hanya krisis agraria, model pembangunan yang menghamba pada modal dan kepentingan korporasi besar tersebut telah mengakibatkan kerusakan alam, meningkatnya bencana ekologis dan konflik sosial. Di berbagai titik di Indonesia terjadi banjir, longsor, kekeringan, kebakaran, abrasi dan kenaikan air laut. Di sisi lain terjadi krisis pangan karena pencemaran lingkungan. WALHI mencatat bahwa bencana ekologis banjir terbesar terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat tahun 2021-2022. BNPB mencatat sebanyak 24.379 rumah terendam banjir, kurang lebih 112 ribu warga mengungsi, dan 15 orang meninggal dunia. Bahkan Presiden Jokowi sendiri mengatakan banjir tersebut merupakan yang terbesar dalam 50 tahun terakhir.
Tidak hanya kehilangan tanah, para petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan dan masyarakat pedesaan juga kehilangan pengetahuan lokal dan kekayaan tradisional sebagai imbas dari komersialisasi agraria dan sumber daya alam yang telah mengubah model-model produksi, distribusi dan konsumsi di tingkat tapak, termasuk bencana alam silih berganti yang telah menghancurkan ruang hidup rakyat.
Realitas buruk situasi agraria dan ekologis di atas merupakan ironi dan paradoks, sebab Presiden Joko Widodo sebenarnya telah menjanjikan pelaksanaan Reforma Agraria (RA) seluas 9 (sembilan) juta hektar untuk menyelesaiakn konflik agraria, mengurai ketimpangan dan memulihkan hak-hak rakyat yang telah dirampas di masa lalu. Sayangnya yang kita saksikan selama kurang lebih satu dekade terakhir adalah penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan reforma agraria yang jauh dari prinsip-prinsip pemenuhan keadilan sosial dan ekologis.
Alih-alih mendorong kebijakan yang memangkas hambatan pelaksanaan Reforma Agraria Sejati dan semakin memperkuat posisi rakyat. Pemerintah justru melahirkan berbagai regulasi yang bertujuan memfasilitasi investasi dan segelintir kelompok elit bisnis-elit politik semakin banyak diproduksi dan dihasilkan dengan proses yang begitu cepat serta mudah. Mulai dari revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU IKN, Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Sementara itu regulasi yang mengarah kepada keadilan sosial dan lingkungan tidak kunjung diselesaikan dan diimplementasikan, seperti TAP MPR IX/2001, UUPA 1960, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Perpres Reforma Agraria dan RUU Masyarakat Adat.
Peraturan perundang-undangan pro-investasi dan kontra-Reforma Agraria seperti UU Cipta Kerja menghidupkan kembali azas domeinverklaring kolonial yang telah dihapus UUPA 1960. Kebijakan ini semakin mengukuhkan klaim sepihak Negara atas tanah dan kekayaan alam, melanjutkan dualisme pertanahan di Indonesia (tanah dan kawasan hutan)
Sebagai manifestasinya, pemerintah kemudian menawarkan solusi palsu seperti: Bank Tanah dan hak pengelolaannya (HPL); Perhutanan Sosial yang bersifat mengukuhkan klaim sepihak kawasan hutan negara di atas desa, tanah pertanian dan wilayah adat; Skema Perkebunan Sosial dan Distribusi Manfaat yang ingin mengukuhkan klaim perkebunan negara di atas tanah-tanah masyarakat; Kebijakan keterlanjuran dan pengampunan bisnis ilegal di kawasan hutan (Forest Amnesty); dan Perdagangan Karbon sama halnya di wilayah perkotaan, UU Cipta Kerja yang berwatak pro-investasi merancang penguatan posisi dan pemberian previledge atas tanah kepada para pemilik modal.
Melalui UU CK dan ragam regulasi turunannya pula, perampasan tanah dengan dalih percepatan pembangunan infrastruktur, proyek strategis nasional (PSN), pengadaan tanah untuk IKN, kemudahan penerbitan izin tambang, hutan, perkebunan, impor pangan, pengadaan tanah sebagai aset Bank Tanah, upah murah, rendahnya pengawasan dan sanksi terhadap tindak pidana korporasi oleh pemerintah semakin menjadi-jadi.
Lihatlah konflik agraria Rempang dan kasus-kasus lainnya akibat kebijakan kejahatan investasi. Model pembangunan melalui kebijakan PSN yang bersifat lapar tanah dan telah diperkuat UUCK adalah warisan buruk agraria Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Selain kasus Rempang, KPA mencatat sepanjang tahun 2020-2023 telah terjadi 73 letusan konflik akibat PSN yang terjadi di sektor infrastruktur, properti, pertanian pesisir dan tambang, seperti kasus:
Tantangan dan ancaman lain yang dihadapi gerakan masyarakat sipil adalah menyempitnya ruang publik (shrinking civic space), yang terlihat dari aktivasi para pendengung pemerintah di dunia maya, maraknya pembubaran paksa diskusi-diskusi publik, stigmatisasi terhadap perjuangan masyarakat, kriminalisasi terhadap demonstran dan aktivis, penyadapan dan pembajakan digital, pembungkaman akademisi, hingga banyaknya pembela hak atas tanah, lingkungan dan HAM yang menjadi korban kekerasan dalam berbagai bentuk. Semua ini telah secara sistematis menambah lapisan-lapisan penghambat dan mempersempit partisipasi rakyat termasuk Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan, Generasi Muda, Buruh, Masyarakat Miskin di pedesaan dan perkotaan.
Melihat situasi krisis agraria dan ekologis yang semakin parah di atas, kami memandang perlu sebuah agenda untuk menyelamatkan masa depan rakyat melalui pelaksanaan reforma agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Mengembalikan paradigma pembangunan kepada nila-nilai Pancasila dan UUD 1945 agar tercipanya keadilan sosial dan ekologis.
Sebab itu, kami yang terdiri dari puluhan organisasi gerakan rakyat lintas sektor menyelenggarakan Konferensi Tenurial 2023. Forum ini akan dihadiri seribu orang perwakilan gerakan rakyat dari seluruh Indonesia. Menjadi forum terbesar dan terpenting yang akan membahas berbagai persoalan agraria dan ekologis, menggali gagasan dan inisiatif dari bawah serta membangun rekomendasi-rekomendasi perbaikan kebijakan ke depan.
Pergantian kekuasaan yang akan datang adalah momentum penting untuk mendesakkan agenda-agenda perubanan yang dilahirkan dari konsolidasi rakyat dalam forum ini. Membangun konsensus nasional tentang Reforma Agraria dan pengelolaan SDA yang berkeadilan sebagai agenda strategis dan tuntutan utama gerakan masyarakat sipil terhadap pembuat kebijakan dan penyelenggara pemerintahan ke depan.
Konferensi ini juga ajang konsolidasi gerakan sosial yang lebih kuat dan luas di antara gerakan reforma agraria, gerakan masyarakat adat, gerakan nelayan, gerakan buruh, gerakan lingkungan, gerakan perempuan, perkotaan, kelompok marginal dan gerakan sosial lainnya.
Demikain siaran pers ini kami buat untuk dapat menjadi menjadi perhatian semua pihak!
Hormat kami,
Panitia Bersama Konferensi Tenure
Juru Bicara:
- Dewi Kartika, Sekjen KPA – 0813 9447 5484
- Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN – 0812 1060 794
- Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif WALHI – 0812 8985 0005
- Muhammads Ishnur, Direktur YLBHI – 0815 1001 4359
KPA, AMAN, WALHI, HuMa, RMI, Kemitraan, YLBHI, BRWA, Sajogyo Institute, Papua Study Center, Samdhana, Konfederasi KASBI, JKPP, PUSAKA, ICCAs, Rekam Nusantara, FIAN Indonesia, Epistema, KNTI, Madani, KRKP, Perempuan Mahardika, PEREMPUAN AMAN, Sawit Watch, RECOFTC, IGJ, Greenpeace, KATA Indonesia