Pernyataan Sikap Konsorsium Pembaruan Agraria dan Konfederasi KASBI
Pada hari ini (6/7), seribu massa petani-buruh melakukan aksi unjuk-rasa di depan Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. Massa petani yang turun aksi merupakan gabungan organisasi tani Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang berasal dari Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Tani Indramayu (STI), Pemersatu Petani Cianjur (PPC), Persatuan Petani Suryakencana Sukabumi (PPSS), Pergerakan Petani Banten (P2B), Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB) dan Serikat Perani Simalingkar Bersatu (SPSB). Sementara massa buruh yang turun merupakan serikat-serikat buruh Anggota Konfederasi KASBI yang berasal dari Jakarta, Banten dan Jawa Barat.
Aksi unjuk rasa ini bertujuan mengawal sidang lanjutan ke-4 yang digelar oleh MK RI terkait Pengujian Formil Undang-Undang No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja, disingkat UUCK) yang diajukan oleh KPA, Konfederasi KASBI dan 12 organisasi masyarakat sipil lainnya sebagai pihak pemohon. Agenda sidang hari ini di Gedung MK RI adalah mendengarkan keterangan dari DPR dan Presiden RI.
Seyogyanya, sidang dengan agenda mendengarkan keterangan dari DPR dan Presiden RI diselenggarakan pada 21 Juni 2023 lalu. Namun sidang tersebut ditunda sebab DPR dan Presiden mangkir dari persidangan dengan alasan belum siap.
Masih segar dalam ingatan, akhir tahun lalu Presiden Joko Widodo melakukan manuver politik berbalut hukum dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja untuk mensiasati Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang telah menyatakan bahwa UUCK inkonstitusional bersyarat. Setali tiga uang, proses pembahasan dan pengesahan perppu oleh DPR RI berlangsung senyap dan cepat dengan mengabaikan berbagai protes dan aksi gerakan rakyat, mengabaikan Putusan MK 91.
Selain proses dan prosedural pembuatan UUCK melalui penerbitan perppu pasca Putusan MK 91 yang inkonstitusional, KPA-KASBI memandang UUCK yang terus diberlakukan dalam dua tahun terakhir telah menyebabkan dampak buruk terhadap kaum buruh, petani, dan masyarakat miskin di pedesaan maupun perkotaan. Di bidang agraria, pangan dan lingkungan, telah terbukti bahwa UUCK adalah bentuk kejahatan konstitusionalisme terhadap hak-hak petani dan masyarakat agraris.
Pertama, Badan Bank Tanah (BBT) hasil UUCK terbukti memperparah eskalasi konflik agraria dan menghambat pelaksanaan reforma agraria di lapangan. Dari target 25.000 hektar, luas tanah yang menjadi asset BBT sudah mencapai 10.961 hektar di tahun 2023, meningkat drastis dari 4.312 hektar di tahun 2022. Pasalnya, operasi pengadaan tanah lewat pemasangan patok-patok atau plang penetapan lokasi obyek bank tanah oleh BBT dilakukan secara sepihak, tanpa konsultasi apalagi pertujuan masyarakat. Cara kerja BBT mengabaikan kondisi eksisting di lapangan sehingga patok dan plang BBT berdiri di tanah-tanah masyarakat.
Di Desa Batulawang, Cianjur-Jawa Barat misalnya, tiba-tiba tanah masyarakat diklaim secara sepihak oleh BBT sebagai asset mereka. Padahal tanah yang dipatok merupakan perkampungan dan lahan pertanian produktif holtikultura masyarakat selama puluhan tahun, yang sudah menjadi lokasi prioritas penyelesaian konflik agraria. Hal serupa terjadi di Desa Wawutu, Kec. Lore Peore, Poso-Sulawesi Tengah. Masyarakat desa resah sebab di atas tanah pemukiman dan pertanian mereka tiba-tiba berdiri plang BBT. Contoh Kasus BBT di Cianjur dan Poso menunjukkan kehadiran BBT makin memperparah konflik agraria, sebab di tengah eksisting konflik agraria masih berlangsung antara masyarakat dengan HGU-HGU perusahaan perkebunan, klaim sepihak BBT menambah parah eskalasi konflik dan merugikan petani.
Kedua, Badan Bank Tanah hasil UUCK menyelewengkan dan menghambat agenda reforma agraria. Mengacu PP 64/2021 tentang Badan Bank Tanah, objek tanah yang dijadikan sebagai target asset bank tanah serupa dengan tanah obyek reforma agraria sebagaimana tertuang dalam Perpres No.86/2018 tentang Reforma Agraria. Artinya, keberadaan BBT menghambat dan/atau menyelewengkan agenda reforma agraria. Apa yang dialami oleh warga Batulawang di atas merupakan satu contoh bagaimana lokasi yang telah menjadi prioritas reforma agraria, tiba-tiba menyeleweng menjadi asset Bank Tanah, kemudian rakyat harus menunggu jatah tanah dari skema BBT setelah BBT memenuhi kepentingan alokasi tanah untuk Densus 88.
Ketiga, UUCK menyebabkan penggusuran dan perampasan tanah masyarakat atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN). Total uang negara yang digunakan sebagai biaya ganti rugi pengadaan tanah untuk PSN sebesar Rp 90,996 triliun selama periode 2016-2022, untuk memastikan 52 PSN seluas 156.002 ha dapat berjalan (Kemenkeu, 2023). Hingga tahun 2021, menurut Kementerian ATR/BPN proses pembebasan tanah untuk PSN telah mencapai 23.000 hektar, sementara pengadaan tanah untuk non-PSN seluas 10.000 hektar.
Besarnya gelontoran pendanaan untuk PSN ditambah berbagai aturan hukum demi kemudahan proses pengadaan tanahnya yang difasilitasi UUCK ini menunjukkan orientasi pembangunan pertanahan dan SDA semakin liberal dan kuat disetir kepentingan oligarki. Situasi ini berbanding terbalik dengan minimnya APBN/APBD khusus untuk agenda prioritas RA, dan sulitnya pemberian jaminan hak atas tanah untuk petani, buruh tani dan masyarakat adat. Prioritas tanah untuk PSN dan kelompok korporasi semakin meneguhkan bahwa UUCK adalah kebijakan kontra Reforma Agraria, sebab menyediakan legitimasi hukum untuk terjadinya proses-proses perampasan tanah di lapangan dengan dalih PSN.
Keempat, UUCK buka lebar kebijakan impor pangan dan korporatisasi pangan. Kebijakan ini telah merugikan produksi pangan nasional dan memiskinkan petani. Pelemahan UU Pangan oleh UUCK telah memposisikan pangan hasil produksi nasional dengan pangan hasil impor menjadi sejajar demi politik pangan yang liberal berbasis korporasi dan oligarki. UUCK menambah legitimasi pemerintah, elit politik dan pengusaha importir untuk berbisnis pangan impor. Misalnya kebijakan impor beras.
Tahun 2022 pemerintah mengimpor beras sebesar 429.207 ton, namun mendekati pemilu impor beras melonjak hingga dua juta ton sebagai target sampai dengan akhir Desember 2023 (Surat Penugasan Badan Pangan Nasional kepada Badan Urusan Logistik, 2023). Proyek impor beras tetap dijalankan meski pun terjadi surplus stok pangan nasional. Contoh lainnya, dari data BPS 2022 tercatat produksi beras nasional pada tahun 2022 mencapai 31,54 juta ton beras, sementara konsumsi nasional 30,2 juta ton. Dengan begitu, ada surplus 1,3 juta ton, namun ironinya, kebijakan impor beras dari luar negeri tetap dijalankan. Akibatnyaa, daya tawar petani untuk menentukan harga jual gabah semakin lemah sebab harus bersaing dengan pangan impor, harga gabah pun makin menurun di tingkatan petani kita. Oleh karena itu, keran impor pangan oleh UUCK bersifat kontra terhadap tujuan kedaulatan dan kemandirian pangan yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri.
Selain dipinggirkan oleh kebijakan impor pangan, petani Indonesia harus berhadapan pula dengan korporatisasi pangan melalui Food Estate yang terus dipaksakan. Alih-alih melindungi hak petani dan memperkuat kapasitas produksinya sebagai garda terdepan penyedia pangan nasional dan luar negeri, dengan kebijakan ketahanan pangan ala UUCK pemerintah justru menyerahkan urusan penyediaan pangan nasional kepada korporasi-korporasi besar. Laporan Kementerian Pertanian tahun 2023, pengembangan areal Food Estate sudah mencapai 54.527 hektar yang tersebar di delapan kabupaten. Pembangunan dan pengembangan korporasi pangan ini telah melahirkan perampasan tanah masyarakat adat dan petani, konflik agraria serta kerusakan lingkungan di lokasi-lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan ketahanan pangan Food Estate.
Keenam, pengadaan tanah untuk kawasan ketahanan pangan dalam UUCK telah membenturkan rakyat dengan TNI. Akibat UUCK yang liberal dan kapitalistik di bidang pangan dan pertanian, maka penyediaan stok pangan nasional tidak saja disandarkan pada hasil impor atau pertanian pangan berbasis korporasi, tetapi juga pengerahan institusi militer lewat program ketahanan pangan, sehingga menyebabkan petani harus berhadap-hadapan dengan tentara.
Program pembangunan pangan yang semacam itu telah melemahkan hak, posisi dan peran petani sebagai produsen pangan. Alih-alih bekerjasama langsung dengan petani dan organisasi tani, justru urusan pengadaan pangan nasional dari hulu ke hilir semakin diakumulasi oleh kelompok-kelompok korporasi pertanian dan pangan besar hingga pelibatan institusi militer dalam bisnis pertanian pangan.
Contoh kasus di Kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Ciamis, dimana Kostrad dalam rangka menjalankan program ketahanan pangannya menggandeng PTPN dalam hal penyediaan lahan. Dari kerjasama ini keduanya saling mendapat keuntungan. Kerjasama ini digunakan PTPN untuk menggusur petani dan tanah pertaniannya melalui tangan militer, sehingga PPTN dapat kembali mengklaim tanahnya yang berkonflik puluhan tahun dengan warga. Sementara Kostrad memperoleh lahan dengan sistem pinjam-pakai untuk mengembangan agribisnisnya. Dalam model pertanian dan pembangunan pangan yang semacam ini, ada usaha sistematis mendorong terjadinya ploletarisasi petani pasca tanah yang menjadi alat produksi utama petani berhasil diambil alih Kostrad dan PTPN. Kenyataannya, sebagian kawasan ketahanan pangan seluas 1.067 hektar yang menjadi target kerjasama TNI-BUMN adalah perkampungan dan tanah-tanah pertanian Serikat Petani Pasundan. Inilah upaya PTPN/BUMN membenturkan petani dan masyarakat desa dengan tentara di lapangan. Semakin jelas, UUCK bukan memperkuat lapangan kerja dan menghormati profesi petani, sebaliknya mencabut petani dari tanahnya dan profesinya yang menjadi sumber penghidupan, menjadikan masyarakat agraris sebagai buruh murah.
Ketujuh, kebijakan pengampunan bagi bisnis ilegal korporasi-korporasi di kawasan hutan (Forest Amnesty). Sejak UU Cipta Kerja disahkan hingga April 2023, Kementerian LHK telah mengeluarkan 12 “SK pengampunan” untuk total perusahaan illegal sebanyak 2.701 dengan luas tanah mencapai 3.372.615 hektar (SK.322/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/4/2023). Kebijakan super cepat dan istimewa bagi korporasi ilegal ini jauh berbanding terbalik dengan kebijakan Reforma Agraria Kementerian LHK. Delapan tahun lebih janji 4,1 juta hektar pelepasan klaim-klaim kawasan hutan dan/atau perubahan batas kawasan untuk kepentingan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah bagi rakyat hingga kini tidak ada kejelasannya dan gagal sebab tidak ada political will KLHK untuk serius menjalankan RA.
Contoh kasus, skema pengampunan dan keterlanjuran dalam UUCK digunakan oleh pengusaha ilegal di Kalimantan Timur dengan modus mendorong usaha revisi RTRW Kalimantan tahun 2023 agar bisnis ilegalnya menjadi legal. Termasuk demi menghindari sanksi KLHK berupa denda atas bisnis ilegalnya.
Sementara di sektor perburuhan dan tenaga kerja, situasi tidak kalah suram dengan situasi agraria dan petani saat ini, Konfederasi KASBI mencatat beberapa dampak buruk yang harus ditanggung oleh buruh dan para pekerja akibat diberlakukannya UU ini.
Pertama, bertambahnya ketentuan batas waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Ketentuan batas waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang semula maksimal paling lama 3 (tiga) tahun dengan 1 (satu) kali perpanjangan kontrak 2 (dua) tahun, dengan tambahan maksimal 1 (satu) tahun dirubah menjadi maksimal 5 (lima) tahun. Artinya dengan durasi kontrak kerja yang panjang tersebut, buruh semakin tidak memiliki jaminan kepastian kerjanya, alias sulit diangkat menjadi pekerja tetap atau PKWTT.
Kedua, penghapusan pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan alih daya (outsourcing). Kebijakan ini mengakibatkan semua buruh yang bekerja di berbagai jenis pekerjaan dapat dipekerjakan dengan sistem outsourcing atau alih daya.
Ketiga, penghapusan variabel “kebutuhan hidup layak” dalam pertimbangan penetapan upah minimum sebagai rujukan penghitungan upah minimum yang berdampak bergesernya konsep perlindungan pengupahan secara luas. Hal ini mengakibatkan kenaikan upah tidak akan pernah mencapai kebutuhan hidup layak. Apalagi Kenaikan upah sektoral sudah tidak diberlakukan lagi sejak tahun 2021 hingga sekarang. Bahkan Menteri Tenaga Kerja juga menerbitkan Permenker No.5/2023 yang melegitimasi pemotongan upah buruh hingga 30% per bulan dan perubahan waktu kerja sepihak bagi buruh di sektor industri padat karya berorientasi ekspor.
Keempat, pemutusan hubungan kerja menjadi lebih mudah karena dibukanya proses PHK hanya melalui pemberitahuan pengusaha kepada buruh tanpa didahului dengan perundingan. Hal ini yang kemudian mengakibatkan ledakan angka buruh yang di-PHK sepanjang UU Cipta Kerja diberlakukan.
Kelima, terjadinya Pengurangan hak pesangon kaum buruh, yang sebelumnya dengan perhitungan 2 x PMTK bisa mencapai 32 bulan gaji. Saat ini maksimal hanya 1,75 PMTK dengan maksimal perhitungan 25 bulan gaji, yaitu pesangon 19 bulan gaji ditambah 6 (enam) bulan gaji diambil dari JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan).
Bahkan pengurangan hak pesangon buruh yang di PHK dengan alasan perusahaan merugi tanpa diaudit dan perusahaan tidak tutup, maka pesangon buruh yang sebelumnya sebesar 2 PMTK kini dikurangi menjadi hanya 1 PMTK. Bagi PHK karena perusahaan merugi dan tutup, hak pesangon buruh yang sebelumya 1 PMTK dikurangi menjadi hanya 0,5 PMTK.
Keenam, UUCK semakin mengurangi kontrol Negara terhadap hubungan kerja. Hal ini dikarenakan banyaknya hal yang dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak, seperti soal batas waktu PKWT dan hak istirahat panjang yang bisa disepakati dalam perjanjian kerja. Secara sosiologis-empiris, pengaturan seperti ini sangat merugikan pekerja karena ketimpangan antara pekerja dan pengusaha membuat pekerja tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam melakukan perundingan dua arah secara berkeadilan.
Dengan melihat kebijakan, praktik dan dampak buruk UUCK terhadap situasi buruh dan petani di atas, kami memandang bahwa UUCK merupakan bentuk kejahatan liberalisme dan kapitalisme termutakhir dari Oligarki. Undang-Undang ini secara sistematis dan terstruktur menghianati UUD 1945 dan UUPA 1960 dengan cara merombak dan merevisi 78 UU yang selama ini dianggap menghambat investasi, industri, pengadaan tanah dan pengerukkan kekayaan alam demi kepentingan korporasi dan segelintir elit dalam paket sapu-jagat Omnibuslaw UUCK.
Tujuan UUCK adalah hendak menutupi sekaligus melanjutkan kejahatan-kejahatan di bidang agraria-kehutanan, perburuhan dan perbudakan modern yang diwariskan turun-temurun oleh Hindia Belanda, Orde Baru hingga oleh Orde Reformasi sekarang ini. 25 Tahun Reformasi hanya memperkuat status quo dengan orientasi ekonomi-politik yang ultraliberal. Orientasi model pembangunan yang didorong UUCK adalah pembangunan yang menempatkan petani, buruh dan kekayaan agraria-hutan sebagai obyek eksploitasi oligarki. Jika UUCK tidak dicabut, maka legacy saat ini dan ke depan adalah pemiskinan struktural rakyat di pedesaan dan perkotaan. Sebab, monopoli penguasaan tanah dan kerusakan alam oleh oligarki; ploletarisasi petani dan masyarakat agraris menjadi buruh; hilangnya kedaulatan bangsa atas sumber-sumber agraria; urbanisasi ke kota dan luar negeri (TKI/TKW) dari desa-desa, serta sistem kerja upah murah adalah syarat utama suksesnya model pembangunan yang dikandung UUCK.
Secara konstitusional, UUCK merupakan bentuk penghianatan Pemerintah dan DPR RI terhadap UUD 1945. Sebab itu, kami mengetuk hati nurani para Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan 14 organisasi masyarakat sipil (KEPAL) terkait Uji-Formil terhadap UU No. 6/2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi UU dengan nomor perkara 46/PUU-XXI/2023. Selanjutnya mencabut UUCK sesuai mandat konstitusi dan cita-cita kemerdekaan kita.
Menuju Tahun Politik 2024, penting kiranya bagi masyarakat luas yang mencintai keadilan dan Tanah-Air, mendukung perjuangan petani, buruh, masyarakat adat, nelayan dan rakyat miskin di pedesaan-perkotaan untuk menentang calon-calon Presiden-Cawapres dan Partai Politik yang mempertahankan berlakunya UUCK, kontra Reforma Agraria, Pro-upah murah dan eksploitasi buruh.
Kami menyerukan dan mengajak kepada seluruh elemen rakyat di berbagai daerah agar bergabung bersama barisan kaum tani dan buruh untuk mendesakkan dan memperjuangkan terus PENCABUTAN UUCK dan menegakkan mandat konstitusi atas hak-hak asasi warna negara dan pengelolaan sumber-sumber agraria nasional yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Demikian Pernyataan Sikap KASBI dan KPA ini kami sampaikan. Terima kasih atas perhatiannya, salam hormat, hidup petani! hidup buruh! hidup rakyat!
Jakarta, 06 Juli 2023
Hormat kami,
Dewi Kartika, Sekretaris Jendral KPA
Sunarno, Ketua Umum Konfederasi KASBI
Kontak: 0812 8064 6029 (Sunarno) dan 0813 9447 5484 (Dewi)