Generasi Milenial, Siapa Mau Jadi Petani?
Penulis : Admin
Kolaborator :
terbit tanggal : 20 Jan 2023
Jakarta (kpa.or.id) - Himbauan Presiden Jokowi terhadap anak muda agar tertarik terjun dan bekerja di sektor pertanian terdengar ironi. Sebab, mengecilnya populasi petani bukan lah disebabkan oleh rendahnya kemauan tersebut, akan tetapi ada persoalan struktural yang selama ini tidak pernah menjadi perhatian pemerintah sehingga sektor pertanian semakin ditinggalkan.
Hal ini terungkap dalam diskusi reforma agraria bertajuk Diskusi Milenial, Siapa Mau Jadi Petani yang diselenggarakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) secara daring, Rabu, 18/08.
Diskusi ini melibatkan beberapa pembicara dari berbagai latar belakang, seperti oleh Endang dari Serikat Pagayuban Petani Qariah Thoyyiban (SPPQT), Rara Sekar, Haryadi Propantoko dari Koalisi Rakyat Untuk Kedaultan Pangan (KRKP), Sobirin petani muda dari Serikat Petani Majalengka (SPM), serta Benni Wijaya Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA.
Endang menyampaikan, bahwa pekerjaan petani masih kerap dianggap sebagai kerja-kerja kotor dan buruk. Hal itu juga yang menyebabkan banyak generasi muda enggan bertani. “Padahal menurutnya dari pekerjaan petani lah manusia bisa mendapatkan pangan,” ungkapnya.
Endang juga menyoroti dengan beban ganda perempuan muda desa dalam bertani. Ia menyatakan, perempuan desa yang bertani motivasinya tak lain adalah kebutuhan untuk hidup. Namun Endang mengatakan ironisnya, kehidupan petani pun jauh dari kata layak. “Perempuan yang terjun dalam pertanian juga masih harus mengurusi domestik, tersebut membuat perempuan mendapatkan beban ganda,” ujar Endang.
Memperkuat pengalaman Endang, Haryadi atau yang biasa dikenal sebagai Rofan mengutip hasil riset yang dilakukan KRKP mengenai data penurunan besar-besaran profesi petani di Indonesia. Riset yang dilakukan empat kabupaten di Pulau Jawa tersebut tersebut menemukan bahwa dalam rentang waktu 2013 - 2015 di empat kapubapten pulau Jawa, hanya 15 persen anak muda yang ingin menjadi petani padi. Sementara di sektor pertanian holtikultura hanya 26 persen anak muda yang ingin menjadi petani. Sedangkan, keinginan orang tua agar anaknya mau menjadi petani di usaha padi hanya 50 persen dan di holtikultura ada 73 persen.
Bagi Rofan, selain akses terhadap tanah yang sulit, menjadi petani bukanlah pekerjaan yang menyejahterakan. “Data yang kami peroleh, penghasilan petani perhari hanya 7500. Sangat jauh dari standar bank dunia yaitu, 2 dolar perhari. Jadi, jangan heran memang petani di Indonesia jauh dari kata layak,” paparnya.
Belum lagi kebijakan pemerintah yang mencekik petani, Rofan mengatakan, di bulan Desember beberapa bulan sebelum panen raya, pemerintah selalu mengimpor beras. Hal tersebut menyebabkan harga gabah kering petani selalu di bawah Harga Pokok Produksi (HPP) sebesar 4100. Bahkan di bawah harga produksi. KRKP memperoleh data di 36 sentra produksi padi, harga gabah keringnya hanya 2600 per kilo. “Petani kita jauh dari kata sejahera,” papar Rofan.
Selain masalah kesejahteraan petani yang mengkhawatirkan. Monopoli tanah oleh segelintir orang juga tak kalah mengacam petani. Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan menyebutkan 1 persen perusahaan menguasai 60 persen tanah di Indonesia.
Hal tersebut memancing Benni Wijaya kepala departemen kampanye KPA untuk bersuara. Sebab, menurutnya akibat dari monopoli tanah tersebut adalah konflik agraria stuktural yang semakin tajam. KPA mencatat setidaknya dalam 6 tahun masa kepemimpinan Jokowi ada 2291 letusan konflik agraria. Menurut Benni, pemicunya adalah industri perkebunan, kehutanan, pariswisata, PSN, food estate, dan kawasan militer.
Benni kembali mengajukan data dari BPS, ada 56 persen petani mempunyai tanah kurang dari 0,5 hektar (gurem). Menurutnya hal itu terjadi Ini bisa terjadi karena politik kebijakan pertanian yang sangat serampangan. “Berpihak pada industri besar tapi tidak pada petani,” tutur Benni.
Benni menegaskan, sebagian besar kemiskinan di Indonesia disumbangkan oleh sektor pertanian, atau mereka yang berprofesi sebagai petani. Situasi ini merupakan dampak dari masalah struktural yang tidak kunjung diselesaikan. “Jadi logis saja jika setiap tahunnya sekitar 5,1 juta petani keluar dari pertanian untuk mencari pekerjaan lain,” tuturnya dnegan nada minor.
Apa yang disampaikan oleh Benni, merupakan hal yang dialami oleh Sobirin, ia merupakan korban dari pembangunan bandara Kertajati di Majalengka. Ia mengatakan, ketika itu saat musim panen tanahnya digusur oleh pemerintah untuk kepentingan pembangunan bandara. Lebih parah lagi saat ini teman-temannya di Majalengka harus berhadap-hadapan dengan Perhutani. Tanah yang sudah dikelola bertahun-tahun oleh petani, diklaim milik Perhutani. “Sangat sulit menjadi petani,” ujarnya.
Terkait hal tersebut, Rara Sekar juga menyangsikan pernyataan Jokowi yang mendorang anak muda untuk menjadi petani, Rara mengatakan hal itu hanya teatrikal belaka. Rara menyampaikan, bagaimana anak muda bisa bertani sedangkan tanah-tanah dimonopoli oleh perusahaan. Hal tersebut bagi Rara, justru menjerumuskan anak muda malah untuk jadi petani gurem dan buruh tani.
Ia juga bercerita tidak seperti di Indonesia pekerjaan petani dianggap kotor dan buruk. Kala ia berkuliah di Selandia Baru, pekerjaan petani merupakan hal yang bernilai. Ia mengatakan, di Selandia Baru hampir semua orang bertani, bahkan aneh jika ada orang yang tidak bertani.
Akan tetapi, ia tetap mendorong masyarakat dan tentunya anak muda untuk tetap bertani. Dengan cara tetap menggelorakan kecintaan terhadap tanah. Ia melanjutkan untuk teman-teman yang bergerak di pedesaan teruslah memperjuangkan tanahnya dan berdaulat atas tanahnya. Untuk teman-teman di kota juga bergerak dengan konteksnya sendiri,” ujar Rara.
Bagi Rara, konsumen dari hasil pertanian teman-teman di desa adalah orang kota. Jika orang kota tidak ada kesadaran untuk mendukung produk lokal dan koperasi desa, hal ini akan semakin memperburuk kesejahteraan petani. “Konsumen juga disiapkan pemahamannya agar tidak kosong. Apasih yang dibutuhkan kita dan petani. Nah, dari sana kita akan perlahan menuju yang lebih baik,” tutur Rara.
Teman-teman di kota juga dapat melakukan urban farming agar tahu apa yang dialami petani dan supaya kita tidak tercerabut dari alam. “Sebab, bertani juga bukan sebagai pekerjaan tapi juga sebagai alat melestarikan alam,” pungkas Rara.